Sabtu, 28 Januari 2012

Podange: Bangkit dari Keterbatasan

Inna ma’al ‘usyri yusra: sesungguhnya bersama satu kesulitan ada banyak kemudahan”. Potongan ayat Al Quran tersebut sesuai untuk mengilustrasikan kesulitan yang dialami warga di lereng gunung Wilis. Kerasnya alam pegunungan, kesulitan air, akses jalan dan komunikasi yang sulit, dan mata pencaharian sebagai petani di lahan kering yang kurang menjanjikan terkadang menumbuhkan rasa frustasi warga di sana. Namun, keberadaan mangga podang yang menjadi khas lereng gunung Wilis cukup menghibur hati warga. Ada setitik harapan untuk keluar dari kesulitan. Bisa jadi kemudahan inilah yang Tuhan anugerahkan untuk warga di sana. Bagaimana tidak, buah ini bisa tumbuh di pekarangan tanpa perawatan yang intensif.
Mangga podang memang memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan buah mangga jenis lain baik dari segi rasa ataupun warnanya. Warna kulitnya kuning dengan sedikit bintik merah didekat pangkal dahannya, membawa daya tarik tersendiri bila dipandang. Aromanya khas mengundang selera segar apabila didekati. Rasanya manis walau tanpa gula. Benar – benar memenuhi syarat buah unggulan yang layak untuk dijadikan oleh-oleh khas Kediri.
 
Gambar 1
Sekeranjang mangga podang yang siap dijual di pasar buah Banyakan



Sentra penghasil mangga podang di Kabupaten Kediri terdapat di lima kecamatan yang  melingkari  gunung Wilis yaitu Kecamatan Banyakan, Tarokan, Grogol, Mojo, dan Semen. Jumlah mangga Podang terbesar berada di Kecamatan Banyakan dan Tarokan dengan jumlah kurang lebih 15 ribu pohon. Rata-rata hasil panen perpohon 20-40 kg maka potensi total panen mangga podang bisa mencapai  600 ton permusim.
Musim panen mangga podang tiap tahunnya terjadi sekitar bulan Oktober - Desember. Dengan adanya panen serempak maka terjadi produksi yang melimpah sehingga harga mangga di tahun 2009/2010 sekitar Rp. 500 - Rp. 1000,-/kg. Harga yang rendah membuat petani enggan memanen karena biaya panen lebih tinggi dari pada harga jualnya. Seringkali petani menjual dengan sistem ijon ke tengkulak dengan harga taksiran di pohon.
Namun, kondisi di tahun 2011 ini berbeda dengan tahun kemarin. Harga masih bisa menembus Rp. 2.000 – Rp. 3.000 perkilogramnya di tingkat pedagang dan Rp. 5.000 – Rp. 10.000 di tingkat konsumen. Hal ini terjadi karena  masa panen yang lebih panjang sehingga tidak terjadi stok yang berlebihan.
Sebagai gambaran, di musim hujan tahun kemarin masa panen hanya tiga bulan, sedangkan di musim kemarau tahun ini, masa panen bisa sampai lima bulan. Hal ini terjadi karena kemarau membuat mangga bisa tumbuh dengan optimal. Tidak banyak yang busuk seperti saat musim penghujan. Mangga masak mulai bisa dirasakan di pertengahan bulan Puasa atau sekitar minggu kedua Agustus 2011 dan diperkirakan sampai dengan pertengahan Januari 2012 mangga podang masih bisa dipanen.
Potensi mangga podang yang berlimpah ini memerlukan pemikiran yang kreatif untuk memberikan nilai tambah baik itu nilai tambah ekonomi maupun sosial. Nilai tambah ekonomi dapat diwujudkan melalui olahan mangga podang menjadi produk yang tahan lama sehingga persebarannya bisa lebih luas dan tentunya juga memiliki nilai jual yang lebih tingi. Sedangkan nilai tambah sosial adalah dampak dari nilai tambah ekonomi, misalnya munculnya industri rumah tangga olahan mangga podang, bisa membuka lapangan pekerjaan baru bagi warga sekitar yang rata-rata mengandalkan hidup dari pertanian di lahan kering sehingga muncul alternatif ekonomi baru yang bisa mendukung perekonomian desa.
Pemikiran kreatif tersebut tampaknya sudah disadari oleh dua kelompok tani di desa Tiron - Kecamatan Banyakan yaitu Kelompok Wanita Tani ‘Budidaya’ di bawah pimpinan Bu Luluk dan Kelompok tani ‘Sumber Mulyo’ yang diketuai Pak Jemu. Dua orang inilah yang memiliki semangat membawa perubahan di dusunnya masing-masing. memberi inspirasi bagi warga sekitarnya untuk tidak takluk dengan kerasnya alam di lereng gunung Wilis.
Pertama, Kelompok Wanita Tani ‘Budidaya’ yang berlokasi di dusun Sumberbendo ini, telah mendirikan industri rumah tangga olahan mangga podang  bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency : Lembaga pendanaan dari Pemerintah Jepang), Dinas Pertanian Kabupaten Kediri, dan Universitas Brawijaya. Kedua, Kelompok tani Sumber Mulyo yang berlokasi di dusun Kali Gayam, bekerja sama dengan LSM Internasioanal REI (Resource Exchange International) berhasil melahirkan produk manisan mangga podang yang telah menembus pasar luar negeri.

Bu Luluk: Srikandi dari Dusun Sumber Bendo
Mulai masuk dusun Cowekan yang berjarak sekitar 3 km dari dusun Sumber Bendo, jalan yang semula licin beraspal mulai agak kasar karena beberapa aspal yang mengelupas. Bekas kemarau masih tampak terlihat di persawahan kering di sepanjang jalan, sedikit rumput yang mulai menghijau karena guyuran hujan gerimis, cukup memberi warna hijau yang menyejukkan mata, membelah  coklatnya rerumputan yang kering. Tanaman jagung, rumput gajahan, dan pohon jati, menjadi perlambang nuansa pertanian di lereng gunung yang sangat mengandalkan tadah hujan, terlihat membentang seluas mata memandang.

Di perjalanan menuju rumah Bu Luluk ini, beberapa kali saya berpapasan dengan pengendara motor yang membonceng sekeranjang penuh mangga podang. Nampaknya siang itu petani sedang mengangkut hasil panennya ke pasar induk Banyakan. Pasar yang mempertemukan mereka dengan pedagang-pedagang dari seluruh Jawa Timur yang siap memboyong hasil panenan mereka dan mendistribusikannya sampai ke luar Jawa. 

Gambar 1
Gerbang Pasar Buah Kecamatan Banyakan:
Terlihat kesibukan jual beli mangga podang, gambar diambil sekitar jam 14.00 WIB.
Pasar ini hanya ramai ketika musim buah,
keramaian puncaknya terjadi ketika musim mangga podang.

Jalan satu jalur yang naik turun dan berbatu seakan membelah kebun mangga podang yang tumbuh ala kadarnya, lahan di bawahnya di tumpang sari dengan tanaman lain yang tahan panas. Inilah keunikan mangga podang. Mangga ini tidak memerlukan perawatan yang intens, masyarakat membiarkannya tumbuh, bahkan hampir di setiap pekarangan warga bisa dijumpai mangga ini. Buah ini menjadi andalan yang cocok sebagai tanaman konservasi pada lahan kering dan sebagai tanaman pekarangan yang menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di lereng gunung Wilis.
Saya sudah memasuki dusun Sumber Bendo. Jalan yang dilalui semakin menanjak. Di dusun ini, sebagian rumah warga masih berdinding bambu, berlantai tanah, dan beratap genting yang menghitam karena usia.  Pertanian tradisional yang menjadi mata pencaharaian sebagian besar masyarakat, nampaknya masih belum bisa membuat mereka bisa membangun rumah ‘gedong’ dari batu bata. 
Gambar 2
Tampak menyeluruh: rumah salah seorang warga di dusun Sumber Bendo, masih berdinding gedek (anyaman bambu) dan berlantai tanah

Gambar 3
Penulis bersama dengan pemilik rumah
 
“Tidak nyasar mas? Jalan ke sini memang lumayan sulit, sering ada tamu yang balik kanan begitu sampai ‘bulak’ yang naiknya terjal itu, mereka tidak tahu kalau ada dusun Sumber Bendo setelahnya” ujar Bu Luluk menyambut kedatangan saya.
Akses jalan inilah yang menjadi kendala utama warga di sini. Namun, keterbatasan tersebut tidak membuat Bu Luluk patah semangat untuk berkreasi.  Dibantu 24 orang anggotanya di bawah naungan Kelompok Wanita Tani (KWT) “Budidaya” yang bermarkas di rumahnya, Bu Luluk sukses menciptakan produk olahan mangga podang yang diberi merk “Mango”. Tidak tanggung-tanggung enam varian olahan mangga podang berhasil diciptakannya yaitu sari mangga, leather mangga, manisan jelly, keripik mangga, sirup mangga, dan dodol mangga. “yang terbaru ini kita mau mengembangkan serbuk mangga seperti marimas, insyaallah Selasa besuk (15/11,2011) difasilitasi Dinas Pertanian Kabupaten Kediri bekerjasama dengan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya akan diadakan pelatihan mas” tutur Bu Luluk menginformasikan dengan semangat.
 
Gambar 4
Bu Luluk di tempat pajang produk olahan mangga podang
 
Gambar 5
Papan nama kelompok tani “Budidaya” dibawah binaan JICA, Unibraw, dan Pemda Kediri

Disetiap kemasan produk selalu dicantumkan loggo JICA, Dinas Pertanian Kabupaten Kediri  dan Universitas Brawijaya, saya jadi ingin tahu bentuk kerjasama dan kemitraan seperti apa yang dibangun antara KWT Budidaya dengan ketiga pihak tersebut. “Dulunya KWT budidaya tidak ada mas, yang ada kelompok tani Tiron, itu pun untuk Bapak-bapak dan kegiatannya khusus pembibitan pohon mangga di bawah binaan Dinas Pertanian Kabupaten Kediri dan BPTP Jawa Timur, ketika ada pelatihan gapoktan (gabungan kelompok tani) di Kec.Banyakan, waktu itu dari Unibraw yang memberikan pelatihan tentang olahan mangga podang, kita Ibu – ibu yang mewakili tertarik sekali, karena kebetulan kita sudah memulainya.

Akhirnya tahun 2006, karena keinginan bersama yang kuat untuk membantu mengangkat perekonomian desa, kita Ibu - ibu mendirikan KWT ini, dan saya ketiban sampur untuk jadi ketuanya”, ungkap Bu Luluk mengkisahkan dengan jujur dan apa adanya. Sifatnya ini yang membuat anggota memberikan amanah kepadanya untuk memegang kendali kelompok, namun untuk urusan keuangan Beliau tidak ikut campur, mempercayakan sepenuhnya kepada bendahara yang sudah terbentuk.

Laporan keuangan dan segala macam administrasi dapat dilihat di satu meja yang diletakkan di ujung ruang pajang etalase produk yang masih berbaur dengan tempat produksi. Namun, untuk pengupasan mangga podang dilakukan di luar ruang pajang, hal ini untuk menghindari bau asam mangga atau kotoran kulitnya. Kulitnya bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak warga, nyaris tidak ada sampah hasil produksi yang tersisa, konsep zero waste berhasil diterapkan.

Walaupun berada di desa pinggiran,  namun jangan salah,  produksi tidak dilakukan dengan asal-asalan, Ibu-ibu berusaha menerapkan proses produksi yang higienis, ada seragam, mesin pengepakan, pengering, aluminium foil untuk menyimpan cadangan bahan baku bila musim mangga habis, open otomatis, dll.  Hal ini tampaknya tidak lepas dari pembinaan yang dilakukan Unibraw dari pendanaan JICA senilai 140 juta, serta peran Pemda Kediri dalam melengkapi peralatan produksi yang diperlukan. Tak salah bila KWT menyabet juara satu produk unggulan Provinsi Jawa Timur, dan ketika tulisan ini dibuat, KWT sedang mengikuti proses seleksi produk unggulan tingkat nasional. 

Gambar 6
Aluminium foil tempat menyimpan
cadangan bahan baku mangga yang sudah dihaluskan
Pemasaran dilakukan lewat pameran-pameran yang diadakan baik dalam maupun luar daerah yang difasilitasi Pemda Kediri. Tujuannya memang untuk promosi, sebatas mengenalkan produk olahan mangga podang ke masyarakat luas, tapi kadang penjualan yang didapat dari ikut pameran cukup lumayan. Antusiasme masyarakat cukup tinggi ternyata. Terlebih ketika mendekati hari raya idul fitri. Banjir pesanan datang tidak henti-hentinya.

Disamping itu, KWT juga mandiri mencari celah pasar domestik, misalnya mereka berhasil memajang produk di Sri Ratu Mall dan Golden Swalayan Kediri. Setiap tahun KWT juga mendapat kesempatan mengikuti pameran BRI pesta rakyat. “Sebenarnya kalau ada kesempatan pameran di luar negeri, itu yang Kami harapkan Mas, supaya orang-orang turis yang pernah datang kesini tidak susah payah lagi melewati jalan kampung sini” kenang Bu Luluk.

Liputan Jawa Pos Radar Kediri (30/11, 2011) menyebutkan produk hasil olahan mangga podang ini layak dipamerkan ke luar negeri. Beberapa kali warga Amerika berkunjung hanya untuk melihat bagaimana mangga podang bisa diolah berbagai bentuk dan sudah ada antusiasme dari orang asing tersebut untuk memborong hasil produksinya mengingat mangga podang memang khas dari Kediri yang sulit dijumpai di tempat lain atau dalam manajemen strategi dikenal dengan Vicious Niche yaitu ceruk pasar unik yang dimiliki sebuah produk dan tidak bisa dijumpai di produk jenis lainnya.



Kendala Transportasi dan Komunikasi

Bukan tanpa kendala. Mulai awal pendirian tahun 2006 KWT mengalami pasang surut. Uji coba untuk menghasilkan produk yang pas rasa dan kualitasnya, berulang-ulang kali gagal. Rugi jutaan rupiah juga pernah dialami, pernah seorang distributor yang dipercaya, mengambil sari mangga dalam jumlah besar, tapi tidak kembali. Jutaan rupiah lenyap. KWT menganggap itu sebagai ujian dan pembelajaran untuk hati-hati dalam memilih mitra bisnis.

Kendala SDM. Ibu-ibu anggota KWT rata-rata lulusan SD, bahkan Bu Luluk mengaku tidak lulus dari SDN Tiron Banyakan. Hal ini berpengaruh kepada manajemen administrasi dan pencatatan keuangan yang masih ala kadarnya. Namun, seiring makin berpengalamannya KWT dan ada pendampingan dari kalangan akademisi, hal ini bisa diatasi.

Kendala yang belum bisa diatasi adalah akses tranportasi dan komunikasi. “Kalau ditanya apa yang paling saya cita-citakan, ya itu mas, tolong jalan diaspal. Tahun 2011 ini pernah ada kunjungan rombongan dari pesantren Gontor, satu Bus pariwisata, nyatanya busnya bisa masuk kesini walau dengan susah payah. Alhamdulillah mas, ludes semua dagangan di sini. Tapi banyak juga rombongan lain yang memilih kembali. Menyerah dengan kondisi jalan yang rusak” ujar Bu Luluk mengkisahkan.

Kondisi jalan tersebut juga menyulitkan bagi petani yang mengangkut hasil panen ke daerah lain. Makanya, dari pada menunggu pembangunan jalan yang belum pasti, masyarakat lebih memilih memodifikasi sepeda motor, jadi motor semi balap, untuk menundukkan jalan yang berbatu.

Masalah sinyal HP juga menjadi kendala yang serius. Walaupun rata-rata warga yang punya HP sudah memasang antenna sinyal. Namun tetap saja sinyal sulit didapat. Bahkan lokasi rumah bu Luluk yang bersebelahan dengan tempat produksi sama sekali tidak mendapatkan sinyal. ”Saya sering dimarah-marahi mas gara-gara ini, orang luar sering nyalahkan saya, katanya HP saya tidak pernah diaktifkan, padahal aktif terus. Kadang saya harus naik ke tempat yang lebih tinggi kalau ingin berhubungan dengan pihak luar. Makanya dikartu nama kelompok saya cantumkan juga nomor HP sekretaris KWT, Bu Sumini. Soalnya rumahnya berada di ujung desa yang letaknya agak tinggi, sinyal lumayan disana” terang Bu Luluk. “Gak tahu kenapa  mas kok belum ada operator  yang berani membangun tower di sini, padahal walau pun pinggiran, desa ini kan menjadi incaran orang asing lho?” seloroh bu Luluk.

Sampai sekarang sinyal masih menjadi barang mahal di desa ini. Padahal akses komunikasi adalah alat pemasaran yang paling utama dan sangat dibutuhkan untuk lebih mengenalkan produk olahan mangga podang.

Terlebih sekarang era internet marketing. Promosi produk akan semakin cepat lewat media internet. Bisa lintas Negara bahkan. Namun hal ini belum begitu disadari ibu-ibu KWT. Pemasaran masih berjalan secara tradisional karena memang fasilitas internet tidak mendukung di desa Sumber Bendo ini.

Berbagai kendala yang dihadapi, toh tidak menyurutkan semangat ibu-ibu untuk tetap berproduksi. Mereka menyadari potensi mangga podang yang melimpah di setiap musim panen akan mubadzir bila tidak kreatif diolah untuk memberikan nilai tambah ekonomi. Masih ada setitik harapan yang mereka yakini bahwa mangga podang ini adalah anugerah dari Tuhan yang bisa menghidupi warga di sana.

Ada keyakinan dalam benak mereka, desa Sumber bendo bisa maju dan setara dengan desa-desa lain yang lebih mudah terjangkau. Mereka juga tidak ingin sebagian pemuda memilih keluar kampung hanya untuk bekerja ke orang lain. Bahkan sebaliknya, bila produk olahan mangga  podang semakin besar, disamping melibatkan pemuda setempat untuk memajukan produksi, mereka juga ingin menarik pemuda dari luar desa yang ingin belajar berusaha.

Mereka sangat terbuka. Kompak untuk maju bersama dibawah satu bendera kelompok. Tidak ada dominasi perseorangan yang ingin memperkaya diri sendiri. Semangat seperti inilah yang diharapkan bisa mengurai masalah perkotaan yang padat penduduk. Urbanisasi masyarakat desa ke kota selama ini lebih disebabkan karena minimnya lapangan pekerjaan di desa, sehingga masyarakat desa menganggap kota adalah ladang yang tepat untuk bekerja. Namun, dengan bekal pendidikan yang rendah dan keterampilan yang minim, kaum urban hanya menjadi pekerja kasar atau bahkan menambah jumlah kaum marjinal di kota. Akhirnya malah menjadi masalah sosial baru di kota. Nampaknya hampir semua kota besar mengalami hal ini.



Pak Jemu : ‘Duta Besar Pertanian’ Kabupaten Kediri

Pak Jemu, tinggal di Dusun Kaligayam yang hanya berjarak 3 km dari rumah Bu Luluk. Akses jalan relatif lebih mudah bila dibandingkan dengan Dusun Sumber Bendo. Yang menarik, gang kecil menuju rumah Pak Jemu diberi nama gang mangga. Barangkali karena begitu banyak dan seringnya mangga yang keluar masuk dari gang ini, saya pun lupa menanyakan ke warga mengapa diberi nama gang mangga.

Tepat tengah siang, jam 12.00 WIB, rombongan ibu-ibu terlihat berbondong-bondong memasuki ruang produksi, kurang lebih 30 orang, guyonan khas ibu-ibu desa terdengar nyaring menyertai langkah mereka. “ya begini mas suasana kerja di sini, serba kekeluargaan, namun tetap harus disiplin, bisa membagi waktu istirahat dan waktu kerja, seragam kerja, sarung tangan, dan penutup hidung wajib dikenakan untuk menjaga kebersihan olahan mangga” tutur pak Jemu. 
Sosoknya sederhana. siang itu ia hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Kelelahan bekerja Nampak di raut wajahnya. Namun ia tetap menyambutku dengan senyum ramahnya. ‘Duta besar pertanian’ adalah julukan akrab yang dilontarkan penyuluh lapang dari Dinas Pertanian Kabupaten Kediri yang salut akan kiprah Pak Jemu yang memiliki jam terbang tinggi. Dikirim mewakili petani-petani se-wilayah Kabupaten Kediri untuk menghadiri berbagai macam acara pertanian baik tingkat propinsi ataupun tingkat nasional, sudah menjadi kebiasaan baginya.

Bapak lulusan SMP ini tidak pernah merasa minder. Keinginan yang kuat dan puluhan tahun pengalaman sebagai petani membuatnya selalu mendapat kepercayaan dari berbagai pihak. Bantuan pun mengalir deras, mulai dari alat produksi pertanian dari Dinas Pertanian dan pelatihan dari BPTP untuk olahan hasil pertanian yang akhirnya mempertemukannya dengan REI (Resource Exchange International: LSM internasional yang berpartner dengan pemerintah lokal di beberapa negara dengan tujuan pemberdayaan masyarakat lewat kearifan lokal).

REI menempatkan dua orang di Indonesia, yaitu Dr. Chuck, N. (PhD in agricultural economic from Lowa State University) dan Mr. Dave (MBA in Executive Management from Royal Roads University).

 
Dr. Chuck, mengaku lebih senang dipanggil dengan Mr. Cokro saat berada di desa Tiron, karena memudahkan lidah orang jawa katanya. Ia telah memprakarsai berdirinya PT. Sun Rei di Jawa Timur dengan produk andalannya manisan mangga bermerk “Dried Mango”. Ia juga yang melatih warga sekitar tentang teknik pemrosesan mangga podang yang higienis dengan menggunakan mesin ‘innovative dehydrating technology’ yang diciptakannya. Mesin ini memiliki kapasitas 1 ton perhari. Bahan baku di stok dari sekitar 120 anggota kelompok tani ‘Sumber Mulyo’ desa Tiron yang diketuai Pak Jemu.

Informasi yang saya dapat dari webblog REI, pasar untuk Dreid Mango ini terbuka lebar baik domestik atau pun internasional. Tahun kemarin PT. Sun Rei berhasil memproduksi 3 ton manisan mangga, untuk menembus pasar internasional direncanakan harus memproduksi paling sedikit 20 ton manisan mangga. Tentunya memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya.

“Saya ngomong-ngomong dengan kelompok tani yang lain, mereka juga ingin kerja sama dengan REI mas, saya juga sampaikan kalau peluangnya masih terbuka lebar, hanya saat ini kita masih focus memperbaiki kualitas produk” tutur Pak Jemu. Hal yang baik tentunya bila kelompok tani di daerah lain bisa melakukan hal yang sama. Kesejahteraan bisa merata  karena ada geliat perkonomian baru yang bisa menjadi tumpuan hidup masyarakat.

Siang itu, di depan teras rumah Pak Jemu, Mr. Chuck yang awalnya berada di dalam rumah mengontrol proses produksi yang dilakukan Ibu-ibu, ikut nimbrung di obrolan Kami. Dia sudah 9 tahun di Indoneseia, sudah fasih berbahasa Indonesia. “bisa bahasa Jawa Mister?” tanyaku iseng “ aku durung iso boso Jowo” jawabnya sambil tersenyum.

“Bagaimana mister keadaan di desa Tiron ini, terutama masalah transportasi dan komunikasi?” tanyaku menyelidik. “Cukup bagus, saya sudah terbiasa dengan sepeda motor di sini, lebih praktis, saya punya cita-cita, truk tronton besar untuk mengangkut dried mango bisa masuk ke desa ini, barangkali jalannya bisa diperbagus. Di tempat produksi ini saya sangat membutuhkan jaringan 3G, tapi tidak ada sama sekali di sini, padahal saya memerlukannya untuk berkirim email ke pusat. ” jawabnya dengan sedikit serius.

Era sekarang telekomunikasi memang mutlak diperlukan, tidak terkecuali di desa Tiron yang sedang berbenah perekonomiannya. Terlebih keberadaan bule masuk kampung setidaknya dapat membuktikan kalau desa-desa yang selama ini dianggap pinggiran, miskin, ternyata mempunyai daya tarik tarik tersendiri bagi orang-orang asing. Mr. Chuck salah satunya. Atau beberapa orang Amerika yang pernah berkunjung ke rumah Bu Luluk cukup menambahkan bukti  bahwa desa memiliki potensi yang luar biasa. Saatnya investasi telekomunikasi dibawa masuk ke desa.  Jangan sampai potensi-potensi yang ada di desa menjadi mati suri, tidak ada yang peduli, hanya karena kesulitan akses komunikasi.

Ayo bangun desa!.




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar