‘Inna ma’al ‘usyri yusra: sesungguhnya bersama satu kesulitan ada
banyak kemudahan”. Potongan ayat Al Quran tersebut sesuai untuk
mengilustrasikan kesulitan yang dialami warga di lereng gunung Wilis. Kerasnya
alam pegunungan, kesulitan air, akses jalan dan komunikasi yang sulit, dan mata
pencaharian sebagai petani di lahan kering yang kurang menjanjikan terkadang
menumbuhkan rasa frustasi warga di sana. Namun, keberadaan mangga podang yang menjadi
khas lereng gunung Wilis cukup menghibur hati warga. Ada setitik harapan untuk
keluar dari kesulitan. Bisa jadi kemudahan inilah yang Tuhan anugerahkan untuk
warga di sana. Bagaimana tidak, buah ini bisa tumbuh di pekarangan tanpa
perawatan yang intensif.
Mangga podang memang memiliki
kekhasan bila dibandingkan dengan buah mangga jenis lain baik dari segi rasa
ataupun warnanya. Warna kulitnya kuning dengan sedikit bintik merah didekat
pangkal dahannya, membawa daya tarik tersendiri bila dipandang. Aromanya khas
mengundang selera segar apabila didekati. Rasanya manis walau tanpa gula. Benar
– benar memenuhi syarat buah unggulan yang layak untuk dijadikan oleh-oleh khas
Kediri.
Gambar
1
Sekeranjang
mangga podang yang siap dijual di pasar buah Banyakan
Sentra penghasil mangga podang di Kabupaten Kediri terdapat di lima kecamatan yang melingkari gunung Wilis yaitu Kecamatan Banyakan, Tarokan, Grogol, Mojo, dan Semen. Jumlah mangga Podang terbesar berada di Kecamatan Banyakan dan Tarokan dengan jumlah kurang lebih 15 ribu pohon. Rata-rata hasil panen perpohon 20-40 kg maka potensi total panen mangga podang bisa mencapai 600 ton permusim.
Musim panen mangga
podang tiap tahunnya terjadi sekitar bulan Oktober - Desember. Dengan adanya
panen serempak maka terjadi produksi yang melimpah sehingga harga mangga di
tahun 2009/2010 sekitar Rp. 500 - Rp. 1000,-/kg. Harga yang rendah membuat
petani enggan memanen karena biaya panen lebih tinggi dari pada harga jualnya.
Seringkali petani menjual dengan sistem ijon ke tengkulak dengan harga taksiran
di pohon.
Namun, kondisi di tahun
2011 ini berbeda dengan tahun kemarin. Harga masih bisa menembus Rp. 2.000 –
Rp. 3.000 perkilogramnya di tingkat pedagang dan Rp. 5.000 – Rp. 10.000 di
tingkat konsumen. Hal ini terjadi karena masa panen yang lebih panjang sehingga tidak
terjadi stok yang berlebihan.
Sebagai gambaran, di musim
hujan tahun kemarin masa panen hanya tiga bulan, sedangkan di musim kemarau
tahun ini, masa panen bisa sampai lima bulan. Hal ini terjadi karena kemarau
membuat mangga bisa tumbuh dengan optimal. Tidak banyak yang busuk seperti saat
musim penghujan. Mangga masak mulai bisa dirasakan di pertengahan bulan Puasa atau
sekitar minggu kedua Agustus 2011 dan diperkirakan sampai dengan pertengahan
Januari 2012 mangga podang masih bisa dipanen.
Potensi mangga podang
yang berlimpah ini memerlukan pemikiran yang kreatif untuk memberikan nilai
tambah baik itu nilai tambah ekonomi maupun sosial. Nilai tambah ekonomi dapat
diwujudkan melalui olahan mangga podang menjadi produk yang tahan lama sehingga
persebarannya bisa lebih luas dan tentunya juga memiliki nilai jual yang lebih
tingi. Sedangkan nilai tambah sosial adalah dampak dari nilai tambah ekonomi,
misalnya munculnya industri rumah tangga olahan mangga podang, bisa membuka
lapangan pekerjaan baru bagi warga sekitar yang rata-rata mengandalkan hidup
dari pertanian di lahan kering sehingga muncul alternatif ekonomi baru yang
bisa mendukung perekonomian desa.
Pemikiran kreatif tersebut
tampaknya sudah disadari oleh dua kelompok tani di desa Tiron - Kecamatan
Banyakan yaitu Kelompok Wanita Tani ‘Budidaya’ di bawah pimpinan Bu Luluk dan
Kelompok tani ‘Sumber Mulyo’ yang diketuai Pak Jemu. Dua orang inilah yang
memiliki semangat membawa perubahan di dusunnya masing-masing. memberi
inspirasi bagi warga sekitarnya untuk tidak takluk dengan kerasnya alam di
lereng gunung Wilis.
Pertama, Kelompok Wanita
Tani ‘Budidaya’ yang berlokasi di dusun Sumberbendo ini, telah mendirikan
industri rumah tangga olahan mangga podang bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency : Lembaga pendanaan dari
Pemerintah Jepang), Dinas Pertanian Kabupaten Kediri, dan Universitas Brawijaya.
Kedua, Kelompok tani Sumber Mulyo yang berlokasi di dusun Kali Gayam, bekerja
sama dengan LSM Internasioanal REI (Resource
Exchange International) berhasil melahirkan produk manisan mangga podang
yang telah menembus pasar luar negeri.
Bu
Luluk: Srikandi dari Dusun Sumber Bendo
Mulai masuk dusun
Cowekan yang berjarak sekitar 3 km dari dusun Sumber Bendo, jalan yang semula
licin beraspal mulai agak kasar karena beberapa aspal yang mengelupas. Bekas
kemarau masih tampak terlihat di persawahan kering di sepanjang jalan, sedikit rumput
yang mulai menghijau karena guyuran hujan gerimis, cukup memberi warna hijau
yang menyejukkan mata, membelah coklatnya
rerumputan yang kering. Tanaman jagung, rumput gajahan, dan pohon jati, menjadi
perlambang nuansa pertanian di lereng gunung yang sangat mengandalkan tadah
hujan, terlihat membentang seluas mata memandang.
Di perjalanan menuju
rumah Bu Luluk ini, beberapa kali saya berpapasan dengan pengendara motor yang
membonceng sekeranjang penuh mangga podang. Nampaknya siang itu petani sedang mengangkut
hasil panennya ke pasar induk Banyakan. Pasar yang mempertemukan mereka dengan
pedagang-pedagang dari seluruh Jawa Timur yang siap memboyong hasil panenan
mereka dan mendistribusikannya sampai ke luar Jawa.
Gambar
1
Gerbang
Pasar Buah Kecamatan Banyakan:
Terlihat
kesibukan jual beli mangga podang, gambar diambil sekitar jam 14.00 WIB.
Pasar
ini hanya ramai ketika musim buah,
keramaian
puncaknya terjadi ketika musim mangga podang.
Jalan satu jalur yang
naik turun dan berbatu seakan membelah kebun mangga podang yang tumbuh ala
kadarnya, lahan di bawahnya di tumpang sari dengan tanaman lain yang tahan
panas. Inilah keunikan mangga podang. Mangga ini tidak memerlukan perawatan
yang intens, masyarakat membiarkannya tumbuh, bahkan hampir di setiap
pekarangan warga bisa dijumpai mangga ini. Buah ini menjadi andalan yang cocok
sebagai tanaman konservasi pada lahan kering dan sebagai tanaman pekarangan
yang menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di lereng gunung
Wilis.
Saya sudah memasuki dusun
Sumber Bendo. Jalan yang dilalui semakin menanjak. Di dusun ini, sebagian rumah
warga masih berdinding bambu, berlantai tanah, dan beratap genting yang
menghitam karena usia. Pertanian
tradisional yang menjadi mata pencaharaian sebagian besar masyarakat, nampaknya
masih belum bisa membuat mereka bisa membangun rumah ‘gedong’ dari batu bata.
Gambar
2
Tampak menyeluruh: rumah salah seorang warga di
dusun Sumber Bendo, masih berdinding gedek (anyaman bambu) dan berlantai tanah
Gambar
3
Penulis
bersama dengan pemilik rumah
“Tidak nyasar mas?
Jalan ke sini memang lumayan sulit, sering ada tamu yang balik kanan begitu
sampai ‘bulak’ yang naiknya terjal itu, mereka tidak tahu kalau ada dusun
Sumber Bendo setelahnya” ujar Bu Luluk menyambut kedatangan saya.
Akses jalan inilah yang
menjadi kendala utama warga di sini. Namun, keterbatasan tersebut tidak membuat
Bu Luluk patah semangat untuk berkreasi.
Dibantu 24 orang anggotanya di bawah naungan Kelompok Wanita Tani (KWT) “Budidaya”
yang bermarkas di rumahnya, Bu Luluk sukses menciptakan produk olahan mangga
podang yang diberi merk “Mango”. Tidak tanggung-tanggung enam varian olahan
mangga podang berhasil diciptakannya yaitu sari mangga, leather mangga, manisan
jelly, keripik mangga, sirup mangga, dan dodol mangga. “yang terbaru ini kita
mau mengembangkan serbuk mangga seperti marimas, insyaallah Selasa besuk
(15/11,2011) difasilitasi Dinas Pertanian Kabupaten Kediri bekerjasama dengan
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya akan diadakan pelatihan mas”
tutur Bu Luluk menginformasikan dengan semangat.
Gambar
4
Bu Luluk di tempat pajang produk olahan mangga
podang
Gambar
5
Papan nama kelompok tani “Budidaya” dibawah
binaan JICA, Unibraw, dan Pemda Kediri
Disetiap kemasan produk
selalu dicantumkan loggo JICA, Dinas Pertanian Kabupaten Kediri dan Universitas Brawijaya, saya jadi ingin
tahu bentuk kerjasama dan kemitraan seperti apa yang dibangun antara KWT
Budidaya dengan ketiga pihak tersebut. “Dulunya KWT budidaya tidak ada mas,
yang ada kelompok tani Tiron, itu pun untuk Bapak-bapak dan kegiatannya khusus
pembibitan pohon mangga di bawah binaan Dinas Pertanian Kabupaten Kediri dan BPTP
Jawa Timur, ketika ada pelatihan gapoktan (gabungan kelompok tani) di
Kec.Banyakan, waktu itu dari Unibraw yang memberikan pelatihan tentang olahan
mangga podang, kita Ibu – ibu yang mewakili tertarik sekali, karena kebetulan
kita sudah memulainya.
Akhirnya tahun 2006,
karena keinginan bersama yang kuat untuk membantu mengangkat perekonomian desa,
kita Ibu - ibu mendirikan KWT ini, dan saya ketiban sampur untuk jadi ketuanya”,
ungkap Bu Luluk mengkisahkan dengan jujur dan apa adanya. Sifatnya ini yang
membuat anggota memberikan amanah kepadanya untuk memegang kendali kelompok,
namun untuk urusan keuangan Beliau tidak ikut campur, mempercayakan sepenuhnya
kepada bendahara yang sudah terbentuk.
Laporan keuangan dan
segala macam administrasi dapat dilihat di satu meja yang diletakkan di ujung
ruang pajang etalase produk yang masih berbaur dengan tempat produksi. Namun,
untuk pengupasan mangga podang dilakukan di luar ruang pajang, hal ini untuk
menghindari bau asam mangga atau kotoran kulitnya. Kulitnya bisa dimanfaatkan
untuk pakan ternak warga, nyaris tidak ada sampah hasil produksi yang tersisa,
konsep zero waste berhasil
diterapkan.
Walaupun berada di desa
pinggiran, namun jangan salah, produksi tidak dilakukan dengan asal-asalan,
Ibu-ibu berusaha menerapkan proses produksi yang higienis, ada seragam, mesin
pengepakan, pengering, aluminium foil untuk menyimpan cadangan bahan baku bila
musim mangga habis, open otomatis, dll. Hal
ini tampaknya tidak lepas dari pembinaan yang dilakukan Unibraw dari pendanaan JICA
senilai 140 juta, serta peran Pemda Kediri dalam melengkapi peralatan produksi
yang diperlukan. Tak salah bila KWT menyabet juara satu produk unggulan
Provinsi Jawa Timur, dan ketika tulisan ini dibuat, KWT sedang mengikuti proses
seleksi produk unggulan tingkat nasional.
Gambar
6
Aluminium
foil tempat menyimpan
cadangan
bahan baku mangga yang sudah dihaluskan
Pemasaran dilakukan lewat
pameran-pameran yang diadakan baik dalam maupun luar daerah yang difasilitasi
Pemda Kediri. Tujuannya memang untuk promosi, sebatas mengenalkan produk olahan
mangga podang ke masyarakat luas, tapi kadang penjualan yang didapat dari ikut
pameran cukup lumayan. Antusiasme masyarakat cukup tinggi ternyata. Terlebih
ketika mendekati hari raya idul fitri. Banjir pesanan datang tidak
henti-hentinya.
Disamping itu, KWT juga
mandiri mencari celah pasar domestik, misalnya mereka berhasil memajang produk
di Sri Ratu Mall dan Golden Swalayan Kediri. Setiap tahun KWT juga mendapat
kesempatan mengikuti pameran BRI pesta rakyat. “Sebenarnya kalau ada kesempatan
pameran di luar negeri, itu yang Kami harapkan Mas, supaya orang-orang turis
yang pernah datang kesini tidak susah payah lagi melewati jalan kampung sini” kenang
Bu Luluk.
Liputan Jawa Pos Radar
Kediri (30/11, 2011) menyebutkan produk hasil olahan mangga podang ini layak
dipamerkan ke luar negeri. Beberapa kali warga Amerika berkunjung hanya untuk
melihat bagaimana mangga podang bisa diolah berbagai bentuk dan sudah ada
antusiasme dari orang asing tersebut untuk memborong hasil produksinya
mengingat mangga podang memang khas dari Kediri yang sulit dijumpai di tempat
lain atau dalam manajemen strategi dikenal dengan Vicious Niche yaitu ceruk pasar unik yang dimiliki sebuah produk
dan tidak bisa dijumpai di produk jenis lainnya.
Kendala
Transportasi dan Komunikasi
Bukan tanpa kendala.
Mulai awal pendirian tahun 2006 KWT mengalami pasang surut. Uji coba untuk
menghasilkan produk yang pas rasa dan kualitasnya, berulang-ulang kali gagal. Rugi
jutaan rupiah juga pernah dialami, pernah seorang distributor yang dipercaya,
mengambil sari mangga dalam jumlah besar, tapi tidak kembali. Jutaan rupiah
lenyap. KWT menganggap itu sebagai ujian dan pembelajaran untuk hati-hati dalam
memilih mitra bisnis.
Kendala SDM. Ibu-ibu
anggota KWT rata-rata lulusan SD, bahkan Bu Luluk mengaku tidak lulus dari SDN
Tiron Banyakan. Hal ini berpengaruh kepada manajemen administrasi dan
pencatatan keuangan yang masih ala kadarnya. Namun, seiring makin
berpengalamannya KWT dan ada pendampingan dari kalangan akademisi, hal ini bisa
diatasi.
Kendala yang belum bisa
diatasi adalah akses tranportasi dan komunikasi. “Kalau ditanya apa yang paling
saya cita-citakan, ya itu mas, tolong jalan diaspal. Tahun 2011 ini pernah ada
kunjungan rombongan dari pesantren Gontor, satu Bus pariwisata, nyatanya busnya
bisa masuk kesini walau dengan susah payah. Alhamdulillah mas, ludes semua
dagangan di sini. Tapi banyak juga rombongan lain yang memilih kembali.
Menyerah dengan kondisi jalan yang rusak” ujar Bu Luluk mengkisahkan.
Kondisi jalan tersebut
juga menyulitkan bagi petani yang mengangkut hasil panen ke daerah lain.
Makanya, dari pada menunggu pembangunan jalan yang belum pasti, masyarakat lebih
memilih memodifikasi sepeda motor, jadi motor semi balap, untuk menundukkan
jalan yang berbatu.
Masalah sinyal HP juga
menjadi kendala yang serius. Walaupun rata-rata warga yang punya HP sudah
memasang antenna sinyal. Namun tetap saja sinyal sulit didapat. Bahkan lokasi
rumah bu Luluk yang bersebelahan dengan tempat produksi sama sekali tidak
mendapatkan sinyal. ”Saya sering dimarah-marahi mas gara-gara ini, orang luar
sering nyalahkan saya, katanya HP saya tidak pernah diaktifkan, padahal aktif
terus. Kadang saya harus naik ke tempat yang lebih tinggi kalau ingin
berhubungan dengan pihak luar. Makanya dikartu nama kelompok saya cantumkan
juga nomor HP sekretaris KWT, Bu Sumini. Soalnya rumahnya berada di ujung desa yang
letaknya agak tinggi, sinyal lumayan disana” terang Bu Luluk. “Gak tahu
kenapa mas kok belum ada operator yang berani membangun tower di sini, padahal
walau pun pinggiran, desa ini kan menjadi incaran orang asing lho?” seloroh bu
Luluk.
Sampai sekarang sinyal
masih menjadi barang mahal di desa ini. Padahal akses komunikasi adalah alat
pemasaran yang paling utama dan sangat dibutuhkan untuk lebih mengenalkan produk
olahan mangga podang.
Terlebih sekarang era
internet marketing. Promosi produk akan semakin cepat lewat media internet.
Bisa lintas Negara bahkan. Namun hal ini belum begitu disadari ibu-ibu KWT.
Pemasaran masih berjalan secara tradisional karena memang fasilitas internet
tidak mendukung di desa Sumber Bendo ini.
Berbagai kendala yang
dihadapi, toh tidak menyurutkan semangat ibu-ibu untuk tetap berproduksi. Mereka
menyadari potensi mangga podang yang melimpah di setiap musim panen akan mubadzir bila tidak kreatif diolah untuk
memberikan nilai tambah ekonomi. Masih ada setitik harapan yang mereka yakini
bahwa mangga podang ini adalah anugerah dari Tuhan yang bisa menghidupi warga
di sana.
Ada keyakinan dalam
benak mereka, desa Sumber bendo bisa maju dan setara dengan desa-desa lain yang
lebih mudah terjangkau. Mereka juga tidak ingin sebagian pemuda memilih keluar
kampung hanya untuk bekerja ke orang lain. Bahkan sebaliknya, bila produk
olahan mangga podang semakin besar,
disamping melibatkan pemuda setempat untuk memajukan produksi, mereka juga
ingin menarik pemuda dari luar desa yang ingin belajar berusaha.
Mereka sangat terbuka.
Kompak untuk maju bersama dibawah satu bendera kelompok. Tidak ada dominasi
perseorangan yang ingin memperkaya diri sendiri. Semangat seperti inilah yang
diharapkan bisa mengurai masalah perkotaan yang padat penduduk. Urbanisasi
masyarakat desa ke kota selama ini lebih disebabkan karena minimnya lapangan
pekerjaan di desa, sehingga masyarakat desa menganggap kota adalah ladang yang
tepat untuk bekerja. Namun, dengan bekal pendidikan yang rendah dan
keterampilan yang minim, kaum urban hanya menjadi pekerja kasar atau bahkan
menambah jumlah kaum marjinal di kota. Akhirnya malah menjadi masalah sosial
baru di kota. Nampaknya hampir semua kota besar mengalami hal ini.
Pak
Jemu : ‘Duta Besar Pertanian’ Kabupaten Kediri
Pak Jemu, tinggal di Dusun
Kaligayam yang hanya berjarak 3 km dari rumah Bu Luluk. Akses jalan relatif
lebih mudah bila dibandingkan dengan Dusun Sumber Bendo. Yang menarik, gang
kecil menuju rumah Pak Jemu diberi nama gang mangga. Barangkali karena begitu
banyak dan seringnya mangga yang keluar masuk dari gang ini, saya pun lupa
menanyakan ke warga mengapa diberi nama gang mangga.
Tepat tengah siang, jam
12.00 WIB, rombongan ibu-ibu terlihat berbondong-bondong memasuki ruang
produksi, kurang lebih 30 orang, guyonan khas ibu-ibu desa terdengar nyaring
menyertai langkah mereka. “ya begini mas suasana kerja di sini, serba
kekeluargaan, namun tetap harus disiplin, bisa membagi waktu istirahat dan
waktu kerja, seragam kerja, sarung tangan, dan penutup hidung wajib dikenakan
untuk menjaga kebersihan olahan mangga” tutur pak Jemu.
Sosoknya sederhana.
siang itu ia hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Kelelahan bekerja Nampak
di raut wajahnya. Namun ia tetap menyambutku dengan senyum ramahnya. ‘Duta
besar pertanian’ adalah julukan akrab yang dilontarkan penyuluh lapang dari
Dinas Pertanian Kabupaten Kediri yang salut akan kiprah Pak Jemu yang memiliki
jam terbang tinggi. Dikirim mewakili petani-petani se-wilayah Kabupaten Kediri
untuk menghadiri berbagai macam acara pertanian baik tingkat propinsi ataupun
tingkat nasional, sudah menjadi kebiasaan baginya.
Bapak lulusan SMP ini
tidak pernah merasa minder. Keinginan yang kuat dan puluhan tahun pengalaman
sebagai petani membuatnya selalu mendapat kepercayaan dari berbagai pihak. Bantuan
pun mengalir deras, mulai dari alat produksi pertanian dari Dinas Pertanian dan
pelatihan dari BPTP untuk olahan hasil pertanian yang akhirnya mempertemukannya
dengan REI (Resource Exchange
International: LSM internasional yang berpartner dengan pemerintah lokal di
beberapa negara dengan tujuan pemberdayaan masyarakat lewat kearifan lokal).
REI menempatkan dua
orang di Indonesia, yaitu Dr. Chuck, N. (PhD
in agricultural economic from Lowa State University) dan Mr. Dave (MBA in Executive Management from Royal Roads
University).
Dr. Chuck, mengaku
lebih senang dipanggil dengan Mr. Cokro saat berada di desa Tiron, karena memudahkan
lidah orang jawa katanya. Ia telah memprakarsai berdirinya PT. Sun Rei di Jawa
Timur dengan produk andalannya manisan mangga bermerk “Dried Mango”. Ia juga yang melatih warga sekitar tentang teknik
pemrosesan mangga podang yang higienis dengan menggunakan mesin ‘innovative dehydrating technology’ yang
diciptakannya. Mesin ini memiliki kapasitas 1 ton perhari. Bahan baku di stok
dari sekitar 120 anggota kelompok tani ‘Sumber Mulyo’ desa Tiron yang diketuai
Pak Jemu.
Informasi yang saya
dapat dari webblog REI, pasar untuk Dreid Mango ini terbuka lebar baik domestik
atau pun internasional. Tahun kemarin PT. Sun Rei berhasil memproduksi 3 ton
manisan mangga, untuk menembus pasar internasional direncanakan harus
memproduksi paling sedikit 20 ton manisan mangga. Tentunya memerlukan kerja
keras untuk mewujudkannya.
“Saya ngomong-ngomong
dengan kelompok tani yang lain, mereka juga ingin kerja sama dengan REI mas,
saya juga sampaikan kalau peluangnya masih terbuka lebar, hanya saat ini kita
masih focus memperbaiki kualitas produk” tutur Pak Jemu. Hal yang baik tentunya
bila kelompok tani di daerah lain bisa melakukan hal yang sama. Kesejahteraan
bisa merata karena ada geliat
perkonomian baru yang bisa menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Siang itu, di depan
teras rumah Pak Jemu, Mr. Chuck yang awalnya berada di dalam rumah mengontrol
proses produksi yang dilakukan Ibu-ibu, ikut nimbrung di obrolan Kami. Dia
sudah 9 tahun di Indoneseia, sudah fasih berbahasa Indonesia. “bisa bahasa Jawa
Mister?” tanyaku iseng “ aku durung iso boso Jowo” jawabnya sambil tersenyum.
“Bagaimana mister
keadaan di desa Tiron ini, terutama masalah transportasi dan komunikasi?”
tanyaku menyelidik. “Cukup bagus, saya sudah terbiasa dengan sepeda motor di
sini, lebih praktis, saya punya cita-cita, truk tronton besar untuk mengangkut dried mango bisa masuk ke desa ini, barangkali
jalannya bisa diperbagus. Di tempat produksi ini saya sangat membutuhkan
jaringan 3G, tapi tidak ada sama sekali di sini, padahal saya memerlukannya
untuk berkirim email ke pusat. ” jawabnya dengan sedikit serius.
Era sekarang telekomunikasi
memang mutlak diperlukan, tidak terkecuali di desa Tiron yang sedang berbenah
perekonomiannya. Terlebih keberadaan bule masuk kampung setidaknya dapat
membuktikan kalau desa-desa yang selama ini dianggap pinggiran, miskin, ternyata
mempunyai daya tarik tarik tersendiri bagi orang-orang asing. Mr. Chuck salah
satunya. Atau beberapa orang Amerika yang pernah berkunjung ke rumah Bu Luluk
cukup menambahkan bukti bahwa desa
memiliki potensi yang luar biasa. Saatnya investasi telekomunikasi dibawa masuk
ke desa. Jangan sampai potensi-potensi
yang ada di desa menjadi mati suri, tidak ada yang peduli, hanya karena
kesulitan akses komunikasi.
Ayo bangun desa!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar